Sahabatku
mempunyai seorang kakak. Suatu hari aku pergi ke rumahnya, berharap aq bisa
bermain-main, berbincang-bincang, dan menghabiskan waktuku seharian bersamanya.
Namun saat kami tiba di rumah, terlihat seorang lelaki duduk di kursi teras
rumah dengan pandangan yang lurus dan kosong, seakan Ia sedang menunggu
seseorang.
"Darimana
dek?" tanya lelaki itu.
"Dari
jalan-jalan mas sama temanku. Oh iya, kenalkan ini temanku, Bunga"
sahabatku memperkenalkanku.
"Yuk,
silakan duduk Bunga. Tunggu disini ya. Silakan ngobrol dengan kakakku" Ia
mempersilakanku.
Aku
pun duduk di kursi teras yang tepat berada di hadapan lelaku itu. Ternyata, Ia
adalah kakak laki-laki dari sahabatku. Suasana menjadi sunyi saat sahabatku
sedang berada di dalam untuk membuatkanku segelas minuman. Dalam kesunyian itu,
aku tidak berani sama sekali untuk mengangkat wajahku dan mengajak kakaknya
berbicara. Aku begitu malu. Karena, sepintas saat kulihat tadi, kakak sahabatku
begitu sangat tampan. Aku malu untuk menatap wajahnya. Dan aku pun hanya bisa
senyum-senyum tanpa maksud yang jelas.
Melepas
kesunyian itu, Ia mulai berbicara.
"Namanya
siapa dek?" lepas suaranya yang begitu sangat indah.
"Bunga
Mas" Sahutku. Aku masih saja menunduk.
"Saya
kakaknya Bulan. Oh, jadi kamu ya yang sering diceritakan sama kakak. Bulan
sering bercerita kepadaku tentangmu. Katanya, Ia punya sahabat yang..."
belum selesai Ia berbicara, Bulan pun keluar membawa minuman dan memcah
pembicaraan.
"Haai,
maaf ya menunggu lama. ini minumannya. Eh, kamu mau main ke kamarku? Yuk nanti
aku ajak. Oh ya aku ambilkan kue dulu ya" Ia pergi berlalu
Seteguk
kuminum minuman segar itu. Lalu kuberanikan diri untuk melihat wajah kakak
Sahabatku. Aku terdiam. Jantungku berhenti berdetak. Denyut nadiku ingin
memompa keras-keras. Gelas yang kupegang tadi, rasanya mau jatuh karna sesuatu
yang sangat mengejutkan itu.
Ia
sangat tampan. Tampan sekali. Saat aku memberanikan diri untuk melihatnya, tak
sadar, ternyata Ia menatapku sedari tadi. Pandangan matanya yang indah,
menatapku lurus dan jatuh ke pandangan mataku. Sesekali Ia berkedip, namun
tetap saja Ia menatapku. Jantungku terasa dag dig dug tidak karuan. Aku memang
jatuh cinta padanya, saat pandangan pertama. Ketampanan parasnya begitu
sempurna hingga tak ada kata yang melukiskannya.
"Ning
Nong.. Ayo masuk ke dalam, Kita ke kamarku yuk.." Sahabatku membuka pintu
dan memecah keheningan.
Kami
meninggalkannya sendirian di teras dan menuju ke lantai dua, tempat Bulan
beristirahat. Setelah itu, kami menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang,
mengobrol tentang ini dan itu.
"Beb
Bulan, kok kamu tidak pernah cerita kalau kamu punya seorang kakak. Laki-laki
lagi. Kamu selalu cerita tentang Bunda, Papa, dan Adikmu Bintang. Dimana kakak
laki-lakimu? Namanya pun tidak pernah kau sebut" tanyaku, yang sepintas
membuatnya Ia terdiam.
"Jangan"
sahut Bulan.
"Jangan?"
"Iya,
Jangan. Nggak usah deh" Katanya menjelaskanku dengan lembut.
"Aku
tidak tahu namanya. Siapa namanya?"
"Kenapa
kamu ingin tahu?" tanya bulan dengan nada yang agak sensitif
"Aku
hanya ingin tahu"
"Dia...kakak
laki-lakiku yang tidak pernah kuceritakan kepada siapa-siapa. Dia ada, tapi
seperti tak ada. Itu karna dia begitu Istimewa. Tak pernah seorang pun
mengunjunginya. Ia tak pernah memiliki seorang teman di luar. Apalagi, sampai
jatuh cinta kepada seseorang ataupun bermain rasa dan emosi. Dia begitu lugu
dan polos karna Ia tak pernah mengenal bagaimana dunia. Ia masih tetap bersama
dirinya. Sendiri.. Sampai saat ini" jelas Bulan dengan bahasa dari hati ke
hati.
"Maksudnya?"
aku bingung dengan segala kalimatnya yang menurutku ambigu dan susah untuk
ditebak-tebak.
Bulan
mengalihkan pembicaraan kepada sesuatu yang lain agar aku tidak mengejarnya.
Aku sedikit merasa kecewa saat itu, karna Ia tak menjawab pertanyaanku.
Seolah-olah, Ia tidak suka jika aku mengenal kakaknya dan mengetahui namanya.
Sesuatu yang aneh.
Jam
menemani kami sampai larut malam. Saatnya untukku pulang ke rumah dan
meninggalkan sahabatku. Esok, Ia bisa kujumpai lagi untuk membicarakan soal
rencana bisnis rumah butik yang hendak kami buat di suatu perkelompokan ruko.
Kami
turun menuju lantai pertama. Dan ternyata, Kakak sahabatku sedang berdiri di
depan pintu, menghadap ke arah kami dengan senyuman. Tetap saja, Ia menatapku
dengan pandangan yang lurus. Jauh menembus tatapanku dan jatuh ke dalam lubuk
hatiku.
"Mas,
Bunga pulang dulu ya, sudah malam" Kata Bulan sambil mempersilakanku.
"Iya,
hati-hati ya Bunga. Besok main lagi" Ia tersenyum padaku.
Aku
tidak bisa menghitung berapa kali Ia membuatku dag dig dug dengan tatapan dan
suaranya yang begitu indah dan lembut. Suaranya sangat lelaki, bass, namun
romantis. Sungguh aneh jika Bulan tidak mau menceritakan kakaknya kepada dunia,
lalu menyembunyikannya sampai terlalu lama termakan usia.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Malam
hari setelah aku pergi ke rumah Bulan, aku sering memikirkan kakaknya.
Terkenang begitu dalam, bagaimana Ia menatapku. Ia tak henti-hentinya
menatapku. Pandangannya lurus lalu terjatuh dalam lubuk hatiku. Rasanya, aku
ingin sering-sering pergi ke rumah sahabatku. Mungkin sekaligus untuk
melihatnya dari kejauhan, meski aku belum mengetahui namanya. Siapakah nama
dari gerangan yang kucinta.
Hari
demi hari kusempatkan waktuku untuk mengunjungi Bulan. Dan sesekali, aku
mencuri waktuku untuk menyapa hai seseorang yang sekarang sedang singgah
dihatiku. Hingga suatu saat, Ia menyampaikan sesuatu kepadaku, dan aku begitu
terkejut.
“Bunga,”
Ia memanggilku lembut dan dengan senyuman.
“Boleh
suatu hari nanti, aku bisa mengajakmu untuk jalan-jalan bersama? Oh mungkin di
tempat dimana Bunga suka. ” pertanyaan yang sekejap membuat aku melayang,
seolah-olah aku merasa menjadi gadis yang paling cantik.
Masih
dengan hal yang sama, Ia menatapku dengan pandangan yang lurus.
Aku
tersenyum lalu berkata “Tentu saja boleh Mas, aku juga ingin pergi bersama,
jalan-jalan. Apalagi dengan kakak”
Mendengar
itu, senyumnya mengembang. Sampai-sampai, aku bisa merasakan betapa
berbunga-bunga hatinya. Betapa bahagianya tatkala aku menerima ajakannya untuk
pergi bersama. Aku merasa Ia juga jatuh cinta kepadaku.
Dan
Ia tak henti-hentinya menatapku dengan pandangan yang lurus.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kami
saling berkomunikasi lewat telepon hingga suatu hari kami saling menyepakati
untuk bertemu di sebuah pantai yang indah. Ya! Aku suka pantai. Bagiku, pantai
sama indahnya seperti saat aku dijendela lalu menatap hujan. Pantai sama
indahnya seperti saat mendung yang senada dengan suasana hatiku. Disana kami
bertemu, dan Ia menunggu di sebuah meja makan tepat di depan pemandangan
pantai. Sepertinya, Ia sudah lama menungguku. Ia duduk disana dengan lagi-lagi
pandangan yang lurus dan kosong.
Aku
menghampirinya. Kami menghabiskan waktu dengan saling mengenal lebih dekat.
Sesekali, kami tertawa menceritakan hal-hal yang lucu dariku. Seusai makan,
mulailah saat-saat yang telah direncanakannya sejak Ia mengenalku.
Masih
dengan hal yang sama, Ia menatapku dengan pandangan yang lurus. Ia memegang
tanganku dengan lembut di atas meja itu, lalu berkata, “Bunga, maukah kau
menjadi” terhenti.“Kekasihku”.
Kata
‘kekasihku’ membuat keheningan terjadi. Suara desis angin dan ombak pun mulai
melengkapi. Ia terus tetap saja menatapku, dengan pandangan yang lurus, tanpa
gerakan bola mata kesana kemari. Karena selama ini aku juga menyimpan rasa
terhadapnya, aku menerimanya. Kembali, Ia mengembangkan senyumnya. Ia menggenggam
tanganku semakin erat dan disanalah kami saling berbunga-bunga, seperti namaku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bulan
demi bulan aku lalui hari-hariku bersamanya. Hingga hari ke 742, genap hari
ulang tahun kisahku dengannya. Kami sering menghabiskan waktu bersama di rumah
Bulan, di teras, dan di tepi pantai dengan meja makan yang sengaja dipesan
khusus olehnya atau saling menghabiskan malam lewat telepon. Hingga suatu hari
kami memutuskan untuk memperikat janji kepada sebuah pernikahan. Bulan,
sahabatku, sangat menyetujui jika aku menjadi kakak iparnya. Kedua keluarga
kami pun juga sudah saling menyetujui. Dan saat yang Indah pun datang pada
waktunya.
Ini
hari pernikahanku. Aku memakai gaun yang sangat cantik, secantik wajahku. Aku
yakin Ia akan sangat bangga melihatku. ‘Tok tok’ suara pintu terketuk oleh
seseorang. Ia, calon suamiku, membuka pintunya lalu menghampiriku. Ia berdiri
bersandar di dekat jendela itu.
“Aku
cantik mas?” tanyaku. Masih dengan hal yang sama, Ia menatapku dengan pandangan
yang lurus.
“Kamu..
Canntik” Ia terseyum kepadaku. Aku berpaling dan kembali untuk merapikan make
up ku didepan kaca rias.
Dibalik
itu, dalam kaca riasku, aku melihatnya menangis. Ia meneteskan air mata. Aku
terdiam dan sejenak menghentikan riasan bibirku. Ia berdiri dengan menatapku,
dengan pandangan yang lurus, namun dengan tetesan air mata yang jatuh di kedua
pipinya. Aku berbalik dan bertanya, “Mas, mengapa kau menangis?”. “Oh, tidak.
Aku tidak menangis sayang, tadi ada debu masuk ke kedua mataku, jadi air mataku
keluar” secara terhentak Ia cepat-cepat menghapus air matanya. Rupanya Ia tidak
mengerti jika sedari tadi di dalam kaca, aku melihatnya menangis. Meneteskan
air mata. Aku tidak tahu apa yang Ia rasakan. Mungkin terharu, karena selama
ini Ia belum pernah bertemu dengan orang, mempunyai teman, apalagi bisa menikah
denganku seperti ini.
Ia menghampiriku dan mengajakku ke ruang
acara. Sambil menuju kesana, aku terus-terus bertanya, “Aku cantik mas? Apa
yang kurang?”. “Tidak, kamu sempurna. Kamu cantik” jawabnya dengan lembut.
“Iya? Cantik mas?” “Kamu cantik sayang”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Inilah
saatnya Ia memakaikan sebuah cincin putih kepadaku. Masih dengan hal yang sama,
Ia menatapku dengan pandangan yang lurus. Seharusnya saat hendak memakaikan
cincin itu, Ia melihat jari-jemariku, tetapi tidak Ia lakukan.
Tangan
kirinya memegang tangan kananku, lalu tangan kanannya memegang cincin yang
hendak Ia pasangkan ke jariku. Ia begitu kesulitan. Sesekali, cincin itu jatuh
diantara jari telunjuk dan jari tengah. Lalu terjatuh diantara jari tenga dan
jari manis. Bahkan terjatuh diantara Ibu jari dan jari telunjuk. Sungguh aneh.
Mengapa Ia tak melihat menuju arah jariku yang hendak Ia pasangkan, namun
justru tetap melihat mataku dengan pandangan yang lurus.
Para
undangan tamu pun melihat kebingungan. Dan terdengan suara, “Ohhh..Dia..”
“Ohhh..si Dia..” “Ternyata..Dia...” “Pengantin laki-lakinya...” “Dia...” suara
gemuruh dari para tamu undangan. Hingga muncullah sebuah tangan yang membantu
memasangkan cincin itu ke jariku. Ternyata Bulan, sahabatku.
Ia
gugup. Tangannya bergetar. Namun Ia tetap menatapku dengan pandangan lurus.
Dari itulah, aku mengetahui sesuatu yang tak pernah Ia sampaikan kepadaku.
Ia
Buta.
“Ia
Buta,” begitu Bunda sahabatku menjelaskanku. Pandanganku langsung hitam pekat.
Sekejap seperti malam. Dan aku terjatuh pingsan. Aku tak sadarkan diri dan aku
tak ingat apa yang terjadi setelah itu.
Aku
terbangun. Aku melihatnya yang sedang menungguku siuman dari pingsan. Ia duduk
menatapku dengan pandangan lurus. Disanalah, kami saling beradu pendapat. Aku
mempertanyakan kebohongan dan sandiwara yang telah Ia simpan selama ini.
“Mengapa
tidak pernah kau jelaskan kepadaku mas, tentang keadaanmu. Mengapa kau simpan
semua ini hingga sakit ku tahu. Mengapa kau tidak berusaha mengatakan yang
sebenarnya, tentangmu. Mengapa?? Inikah besar rasa cintamu kepadaku mas. Tanpa
harus kau tahu betapa sakitnya aku”
Ia
tidak menjawab. Ia terdiam. Lalu meneteskan air mata. Ia menangis dalam
kesunyian itu. Aku sungguh jengkel dengan sikapnya. Ia tidak menjawab semua
pertanyaanku, namun hanya menjawabnya dengan tetesan air mata. Apa artinya
butiran-butiran air mata itu. Tidak akan mampu mengembalikan kekecewaanku.
Akhirnya, aku pun pergi meninggalkannya. Dan menghilang berbulan-bulan lamanya.
Aku mencoba membuang nomor teleponku, berharap Ia dan Bulan tidak mencari
kepergianku.
Aku
begitu sangat kecewa. Ternyata Ia tak pernah benar-benar melihat wajahku. Ia
tak mengenal bagaimana aku. Ia tak tahu siapa aku. Mengapa tak pernah Ia
sampaikan kepadaku? Mengapa sahabat baikku, juga tak pernah menyampaikannya
kepadaku?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berbulan-bulan
lamanya itu, aku pulang ke kampung halamanku untuk menepis kekecewaanku. Lelah
dengan persembunyian itu, aku menceritakan semuanya kepada ayahku. Dan inilah
nasehat dari ayahku yang membuka hatiku,
“Seharusnya,
kau tidak pergi meninggalkannya. Nak, tidak ada manusia yang sempurna. Oleh
sebab itu, berusahalah untuk menerima dan mencintainya. Kamu tahu arti
mencintai sesungguhnya nak? Mencintai adalah menyayangi sesuatu yang tidak
sempurna, namun dengan cinta yang sempurna”.
Mencintai
adalah menyayangi sesuatu yang tidak sempurna, namun dengan cinta yang sempurna.
Ini adalah nasehat yang selalu aku ingat dari ayahku.
“Temuilah
dia Nak”
Aku
menerima nasehat dari Ayah dan keesokan harinya, aku langsung bergegas menuju
kota untuk menemuinya. Aku menyadari bahwa sikap dan langkahku saat itu adalah
hal yang sangat bodoh. Memang benar Ia telah menyakitiku dengan bersandiwara
tentang Butanya, namun akan lebih menyakitkan lagi ketika aku mengetahui bahwa
Ia Buta lalu meninggalkannya. Aku sungguh lebih kejam darinya. Aku sungguh
sangat menyesal. Maafkan aku mas.
Di
kota, aku menuju ke rumah Bulan. Aku mengetuk pintu rumahnya. Dengan cepat,
pintu itu terbuka. Ternyata Bulan yang membukakan pintunya.
“Bungaa?..”
Ia terkejut melihat kedatanganku.
“Mas
ada Bulan ?” tanyaku dengan penuh rindu dan membendung air mataku.
Bulan
terdiam. “Bulan..”
“Aku
tak tahu Ia kemana. Sejak kepergianmu, Ia mengurung diri di kamar, hingga suatu
hari aku dan keluarga tidak menemukannya di dalam kamar. Ia pergi entah kemana.
Memangnya kenapa Bung? Kamu masih marah kepadanya? Tak cukupkah kau meninggalkannya
saat kau tahu bahwa Ia Buta” Bulan memarahiku.
“Baiklah,.sampaikan
kepadanya Bulan. Aku ingin bertemu dengannya. Aku sangat mencintainya” aku
lekas pergi meninggalkannya. Aku meniggalkan nomer telepon yang bisa Ia hubungi
jika Ia sudah menemukan kakaknya.
“Hubungi
aku segera”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa
hari kemudian, aku mendapat telepon dari sahabatku. Ia memberikan kabar bahwa
Ia sudah menemukan kakaknya.
“Aku
sudah menemukannya. Ia mau menemuimu. Katanya, tunggu Ia di pantai. Tempat
pertama kali kau menerima cintanya” ia lekas menutup teleponnya. “Hallo..”.
Ini
sudah malam hari. Rasanya tak mungkin jika petang hari seperti ini aku pergi ke
pantai. Ah aku tidak perduli, aku sangat ingin bertemu dengannya. Akhirnya aku
pergi menuju ke sebuah pantai, tempat kami bertemu dulu.
Di
pantai, Ia berdiri tegak menghadap ombak malam. Dengan bintang-bintang malam
yang menghias diatasnya. Punggungnya yang gagah terlihat dari belakang,
seolah-olah Ia sangat siap untuk menemuiku. Aku berjalan menghampiranya, namun
Ia tidak menoleh ke arah yang Ia dengar. Aku pun berdiri di hadapannya.
Diam.
Sunyi. Hening.
Ia
yang biasa menatapku dengan pandangan yang lurus, kini berubah. Ia tak lagi
seperti itu. Ia melihatku dengan bola mata yang bisa bergerak. Ia bisa
melihatku. Ia tidak buta lagi.
“Halo
sayang..” Ia menyapaku dengan lembut. Aku terkejut saat seseorang yang buta
dulu, kini bisa melihatku dengan jelas. Aku memeluknya dan berkata, “Maafkan
aku mas karna telah meninggalkanmu”. Ia memelukku dengan erat, “Tidak apa-apa
sayang, aku memahamimu. Aku tidak akan memaksamu untuk mencintaiku. Aku
mencintaimu tanpa berharap suatu balasan”. Aku menangis tersedu-sedu. Aku
menyesal telah melukai seorang tuna netra yang putih hatinya.
Sekarang,
Ia bisa melihat. Aku tak tahu bagaimana Ia bisa mendapatkan sepasang mata.
Sepasang mata yang bisa digunakan untuk melihatku dan melihat dunia. Karena,
yang kutahu selama ini, Bulan hidup dalam keluarga yang sangat sederhana. Jauh
dari kehidupan yang berkecukupan. Darimana Ia mendapatkan uang untuk membeli
sepasang mata ini?
Aku
menanyakannya kepada Bulan. Lagi-lagi, Bulan terdiam. Lalu Ia menjelaskannya
kepadaku dengan lembut, seperti dulu saat Ia masih menjadi sahabatku,
“Aku memasang beberapa informasi di media. Dan
sempat kutanyakan pada Lembaga sosial yang peduli akan orang hilang. Aku sangat
menghawatirkan kakakku. Apalagi, dia seorang tuna netra. Tidak lama dari itu,
aku mendapatkan kabar bahwa Ia berada di rumah sakit. Aku pikir Ia tertabrak
karna Ia buta dan tidak bisa melihat lalu lalang kendaraan. Ternyata Tidak!.
Ia
menjual ginjalnya, untuk menukarkan dengan sepasang Mata. Mata agar bisa
melihatmu. Mata agar Ia bisa melihat seseorang yang dicintainya, namun pergi
meninggalkannya. Aku sudah bertanya kepada kakakku, bagaimana bila seadainya,
Kau Bunga tidak pernah kembali. Ia hanya menjawab, ‘Mataku ini untuknya. Bila
dia tak pernah kembali? Biarlah adikku. Ia pernah mencintaiku, dan aku pernah
mengisi ruang hatinya, itu sudah lebih cukup’
--Sekian—
No comments:
Post a Comment