ada banyak rasa saat coding. ada keringat dan air mata dalam mencoding. keringat saat kau berusaha menyelami makna dalam setiap ilmu coding. dan air mata disaat tiada orang yang dapat membantumu, ketika program dalam keaadaan bugging. apapun rasa dalam mencoding. cobalah untuk mengerjakan sendiri. sampai kau bisa. dan benar-benar bisa.

Saturday, 9 February 2013

Bukankah semua berjalan sesuai intuisimu?

Setelah berkeliling berjuang pada medan bendahara pada 23 januari itu, aku mengobati perih hatiku yang kecewa karna hasil itu. aku terduduk dan merenung, mencoba menerima sebuah kenyataan yang terjadi. Menjadi bendahara tidaklah semudah apa yang kupikirkan. Banyak terjadi tantangan didalamnya. Dan kamu harus kuat. Disana ada segudang kepercayaan dari teman-teman yang telah berharap padamu, lalu bagaimana rasanya bila, semua yang telah kamu usahakan ditolak mentah oleh Badan Keuangan. Akan dibawa kemanakah uang mereka (teman-temanmu) yang belum dikembalikan. Dan itu merupakan tanggung jawabmu
Kemudian, dua hari setelah itu aku mulai jatuh sakit. Ntah bagaimana yang kurasa. Badanku mulai menggigil dan panas tinggi di malam hari, lalu serasa perih ada yang menggores di sekujur perut ini. Aku mulai kesakitan dan menghentikan semua aktivitas. Aku menutup diriku dengan selimut rapat-rapat
"Aku melihat seorang dokter"
 tak terlihat jelas wajahnya, Ia sedang memeriksaku. Iya, benar, aku butuh seorang dokter. aku sudah tak kuasa lagi menahan sakit ini. "Bawa aku ke dokter yah", ucapku dalam suhu badan yang tinggi itu. Aku menuju ke alamat dokter pribadiku, daerah Ngagel. Beliau mendiagnosaku terkena infeksi pencernaan. Pesan beliau adalah bila aku kambuh demam tinggi lagi, maka aku akan segera dibawa ke laboratorium untuk dicek darah.
Ternyata, keesokan harinya aku tak kunjung sembuh. Demam tak hanya datang di malam hari, tetapi dini dan siang hari. Makanan yang kumasukkan dalam perutku, selalu kembali dan tak pernah dicerna. Aku menangis meronta-ronta menahan perut disekeliling pusarku yang semakin sakit perih tertusuk-tusuk. Sesakit itu pun, aku masih menyempatkan diriku untuk mengepel lantai rumah dan merawat adikku. Berharap, aku bisa membanggakan ayahku bila tamu-tamu itu datang
"Bawa aku ke dokter yah", kataku dengan air mata yang berlina dibalik selimut itu. Ayahku begitu panik melihat kondisiku yang demam tinggi dan pucat. Pukul 6 petang aku sudah untuk berangkat. Namun sayangnya, aku harus menunggu sampai jam 9 malam. Karena hari itu bertepatan dengan acara tamu khitan adikku. Padahal, bila mereka tahu, 1 jam bahkan sedetik saja itu adalah waktu yang sangat berarti untuk orang yang sedang sakit. Mereka bisa tertawa terbahak-bahak dalam pesta, tapi mereka tak tahu bila aku sedang menangis dan menggenggam erat-erat perutku, mencoba untuk bertahan.
Sendiri di dalam kesunyian kamar. Saat itu, yang terlintas dipikiranku adalah aku ingin bertemu ayah, Ibu, dan keluargaku menungguku disuatu tempat dalam waktu yang sama. Aku tak ingat apa-apa, apalagi urusan dunia. Hanya kehadiran mereka disampingku, walau sejenak.
"Aku melihat rumah sakit, ditangani oleh beberapa dokter. Ada stetoskop. Dan penanganan medis yang lebih serius"
 aku tak tahu apa yang akan terjadi. Dalam mobil ayahku mengatakan, "Kita ke rumah sakit. supaya lebih jelas penyakitnya. Sepurane yo nak..", ayah meminta maaf karna membuatku telah menunggu lama. Turun dari mobil, jalanku agak sempoyongan. Sambil tetap menggenggam perut erat-erat, aku menuju ke ruang IGD. Darisana, aku langsung ditangani oleh dokter-dokter dan suster IGD. Seperti korban kecelakaan, mereka menanganiku dengan cepat, ramah, dan akurat. Hasil cek darah pun menunjukkan ketiga Tifusku positif dan sangat tinggi. Oleh karena itu, dokter tak membolehkanku pulang ke rumah, melainkan harus menjalani rawat inap atau opname sampai aku benar-benar dikatakan sembuh
Saat itu ruang VIP sudah penuh, terpaksa aku menjalani rawat inap pada kamar marwah yang berjumlah 6 orang 1 kamar. Aku resmi masuk rumah sakit pada 28 Januari. Dan malam itu, aku terbangun ketika seorang dokter Muda yang sangat tampan menyentuh pergelangan tanganku, memeriksa denyut nadi dan tensi. "Apa yang dirasakan mbak ? Sakit dimananya", aku terdiam terpaku memandangnya, lalu tersenyum-senyum. Aku yakin Ia juga tahu sebab senyumku, grogi. "Sakit diseluruh perut, apalagi pusar. perih, dan kalau diisi makanan, selalu dimuntahkan". Ia menyentuh dan menekan-nekan perutku. Ia memeriksanya dengan sangat hati-hati. menepuk-nepuk perutku yang ternyata kembung. Kemudian memeriksa pipi dan belakang telingaku yang mengalami pembengkakan kelenjar parotis

1 comment:

Anonymous said...

Wah cepat sembuh ya