ada banyak rasa saat coding. ada keringat dan air mata dalam mencoding. keringat saat kau berusaha menyelami makna dalam setiap ilmu coding. dan air mata disaat tiada orang yang dapat membantumu, ketika program dalam keaadaan bugging. apapun rasa dalam mencoding. cobalah untuk mengerjakan sendiri. sampai kau bisa. dan benar-benar bisa.

Saturday, 7 September 2013

Izinkan Aku untuk Memilih, Tuhan

Usiaku kini tak muda lagi. Kawan-kawan dan sanak saudara sepupuku sudah melalaui masa-masa paling indah dalam hidupnya, bertemu di janur kuning dengan jodohnya. Aku, masih sendiri.
Aku turut bahagia, melihat mereka kini sudah menemukan cinta sejatinya. Diantara mereka juga ada yang sudah memiliki putra-putri kecil nan lucu. Dan dalam ramainya malam keakraban bersama kawan, aku sosok wanita yang berdiri sendiri diantara pesta.

Kini aku tinggal dengan Ibuku yang sudah lanjut usia. Beliau telah melewati lebih dari setengah abadnya, menyusuri liku-liku kehidupan. Ibu banyak mengajarkan aku tentang hakikat kehidupan, cara bertahan di alam semesta, dan tentang cinta. Tapi tak sedikit Ibu selalu berperan dalam menentukan pilihan dalam hidupku.

Aku teringat akan masa kecilku, saat aku masih berada di bangku sekolah dasar. Saat itu adalah masa-masa kecil bagi seorang manusia untuk dapat menikmati cinta kasih sayang dari kedua orang tua. Pergi ke sekolah diantar dengan Ayah atau Bunda. Dan sepulang dari sekolah, anak-anak dapat bercerita tentang bagaimana suka duka harinya disekolah.Tetapi aku tidak dapat merasakan seperti apa yang anak-anak dapat rasakan saat itu. Aku pergi dan pulang dari sekolah dengan mengayuh sepeda kaki. Lalu sesampainya dirumah, aku hanya dapat menyimpan segala pertanyaan yang terlintas saat aku belajar disekolah. Tidak ada tempat untuk bertanya, atau bahkan bercerita. Ibu sedang sibuk bekerja dan ayah yang hidup terpisah dengan kami, entah beliau sedang berada dimana.

Di usia itupun, aku telah menjuarai beberapa kejuaraan melukis. Medali terakhirku di kancah Nasional yang kupajang di almariku, adalah lukisanku yang terinspirasi dari rasa rinduku yang mendalam kepada Ayah. Aku selalu menyimpan medali-medaliku dalam almari itu. Berharap, kapanpun Ayahku kembali, beliau akan sangat bangga dengan prestasi yang telah diraih putrinya. Sayangnya, sampai rambutku telah berwarna dua hitam dan putih menuju abu-abu, Ayah tak kunjung juga kembali. Mungkin, medali-medali itu cukup menjadi bukti cintaku kepada Ayah ataukah hanya menjadi kenangan kikisan rindu yang tak pernah tersampaikan.

Aku pun menuliskan cita-citaku dalam sanubari untuk menjadi seorang pelukis. Setiap hari aku melukis potret wajah seseorang. Memajangnya dalam dinding-dinding yang dingin dan lembab, hingga menghiasi seluruh ruangan. Namun, seindah apapun lukisan itu, Ibu tetap tidak menyukainya. Ibuku tidak menyetujui jika putri kecilnya itu ingin menjadi seorang pelukis. Ibu menginginkan anaknya untuk menjadi seorang dokter. Aku pun menuruti Ibu.

Beberapa tahun menginjak kedewasaan, aku merubah cita-citaku menjadi seorang dokter. Meski berat namun cita-cita inilah yang mengajakku untuk belajar lebih giat. Setiap hari aku berlatih terlebih dahulu tentang materi yang akan diajarkan oleh bapak ibu guruku. Membaca-baca pengetahuan yang seharusnya belum dimiliki oleh siswa pada umumnya. Memupuk semangat dan mimpi-mimpi indah, hingga cita-cita mulia menjadi dokter itu kini sudah mendarah daging. Mewarnai setiap hariku dan larut dalam setiap doaku, agar kelak aku dapat menjadi dokter yang dermawan di area medan perang dan korban bencana alam. Itu mimpiku. Aku pun menghiasi keindahan dalam masa remajaku dengan beberapa kejuaran olimpiade biologi, hingga mengharumkan almamaterku. Namun, sehebat apapun prestasiku dibidang biologi, Ibu tetap tidak menyukainya. Ibuku pada akhirnya tidak ingin bila putrinya menjadi seorang dokter. Ibu menginginkan anaknya untuk menjadi seorang insinyur. Aku menuruti Ibu.

Akhirnya aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi yang telah mencetak insinyur-insinyur cerdas di tanah airku. Disana aku mulai menghadapi beberapa rintangan. Aku terlihat paling bodoh diantara teman-temanku. Aku terlihat paling bejalan lambat dalam belajar. Mereka, teman-temanku, adalah mahasiswa yang memiliki kemampuan lebih didalam bidang analitik perhitungan dan logika. Ada juga diantara mereka yang sudah bertahun-tahun sejak disekolah telah menjuarai kejuaraan olimpiade komputer dan matematika. Tetapi tidak pada diriku, aku sangat berbeda dengan mereka. Aku sangat pandai menghafal dan rajin menulis. Aku selalu mendapatkan A dalam bidang pengetahuan alam dan biologi. Aku sangat mencintai dunia kesehatan dan sistem kerja fisiologi dan anatomi tubuh. Aku tidak pernah mendapatkan passion selama perkuliahanku. Karena inilah bukan pilihanku. Aku terpaksa mati, dan tenggelam dalam kerasnya persaingan kehidupan kampus.

Pada masa-masa perjuangan itu, aku bertemu dengan seseorang yang menjadi cinta pertamaku. Seorang pria yang sudah lama menjadi temanku, namun Ia baru mengungkapkannya setahun sebelum aku wisuda dari bangku perkuliahanku. Ia memang pria yang telah lama kucintai, jauh sebelum aku mengenalnya. Aku telah banyak menghabiskan waktu bersamanya, hingga lengkap senyum dan air mataku karnanya.

Suatu saat, aku memperkenalkan pria itu kepada Ibuku. Pria cinta pertamaku yang kuharapkan juga menjadi cinta terakhirku. Kukenalkan ia pada Ibu di hari itu. Ibu menyambutnya dengan ramah dan sepertinya terlihat bahwa Ibu telah menerimanya. Aku merasa bahagia mengetahui hal itu, walaupun dalam satu sisi dihatiku masih ada keraguan bahwa Ibu akan benar-benar menerima pria yang kucintai itu. Dan setelah lima tahun lamanya aku menjalani kisah bersamanya, akhirnya pria itu datang untuk melamarku.

Aku tidak dapat memberikan keputusan secara langsung kepadanya saat itu, karna aku harus menunggu keputusan Ibuku. Aku mendekati Ibuku dan menanyakan akan keputusan Ibu. Ibu terdiam. Begitu lama terdiam. Hingga aku memanggil Ibu berulang kali.
"Bu, apakah boleh aku menerimanya? aku sudah sangat menyayanginya, Bu?"
Ibu masih terdiam.
Setelah beberapa waktu aku menanyakannya kembali kepada Ibu, "Ibu,.. apakah Ibu tidak suka terhadap pria yang telah kucintai itu?"
Ibu masih terdiam.
Dengan mengehembuskan nafas panjang, Ibu mulai menjawab. 
"Nak, aku akan memperbolehkanmu dengan siapa saja, asalkan kau telah menuntaskan studimu di jenjang Magister di Jerman". itu jawabanmu.
Aku terdiam. termenung seketika disaat itu. Sungguh pilihan yang sangat berat. Aku tahu dibalik itu Ibu masih belum menyetujui atau bahkan belum bisa menerima pria yang datang melamarku itu. Meski dengan kata 'tidak', tapi inilah penolakan pertama Ibu yang paling membuatku amat bimbang. Ibu memang menolaknya dengan halus, hingga berkata 'tidak' saja, Ibu memberikan persyaratan kepadaku agar terlebih dahulu mengenyam bangku magister di negeri orang, Jerman.

Sungguh sulit bagiku untuk mengatakan kepadanya. Sungguh aku tak mampu untuk mengungkapkannya. Dia, pria pertama yang mampu membuat aku belajar cinta yang tulus, dimana aku mencintainya tanpa sebuah alasan. begitu murni.
"Dinda, Aku akan menunggumu sampai engkau selesai menempuh studi S2 mu di Jerman. Aku mencintaimu", Ia mengatakannya padaku. Rupanya Ia bersedia menungguku, saat itu. Pria itu lalu memelukku dengan sangat erat sambil mengucapkan perpisahan dan janji untuk slalu menungguku.

Kisah ceritaku bersamanya yang telah kubina selama lima tahun, akhirnya harus terhenti ketika aku harus menempuh studiku magister di Jerman. Aku menuruti Ibu.

3 Tahun Kemudian
aku kembali ke Indonesia. Aku bertemu Ibuku. Aku memeluk erat Ibuku. Aku sangat bahagia melihat beliau menyambutku dengan begitu bahagia di bandara, melihat putrinya telah berhasil menempuh pendidikan di luar negeri. Aku juga tak hanya berkuliah disana, tetapi juga mencoba bekerja di salah satu perusahaan teknologi disana. Bukan hanya bangga karena aku telah berhasil menuntaskan studiku disana, tetapi aku juga sangat bahagia karna inilah saatnya aku bisa bertemu kembali dengan sosok pria yang kucintai itu.

Sesampainya di rumah, aku memasuki kamar tidurku. Di atas mejaku, aku menemukan banyak undangan pernikahan dari kerabat-kerabat dan teman-teman lamaku di masa perkuliahan. Ibu menaruhnya dalam satu kotak. begitu banyak undangan-undangan itu, hingga aku tak bisa membacanya satu persatu.

hingga suatu hari, seorang tukang pos mengirimkan surat undangan pernikahan dari salah satu teman perguruan tinggiku. Bella, namanya. Bella adalah sahabat karibku di saat perkuliahan. dengan merasa amat bahagia, aku berniat untuk menghadiri pesta perkawinan sahabat lamaku itu. Aku mempersiapkan gaun pesta terindah dan cidera mata yang unik dan spesial untuk Bella.

Pukul tujuh malam waktu berjalan, aku memasuki resepsi pernikahan Bella. Bella dan Mas Yanto, mempelai di pernikahan itu. Aku memberinya ucapan selamat dan mendoakannya agar menjadi keluarga yang sakinah dan berbahagia. Para tamu undangan Bella pun merupakan teman-teman satu almamater kampus. Kami merasa seperti reuni. Banyak diantara mereka yang datang dengan menggandeng pasangannya. Ada juga diantara mereka yang mengajak buah hatinya, yang begitu putih seperti kertas tanpa noda.

Kami berbincang-bincang satu sama lain. Memperkenalkan diri masing-masing yang dalam keadaan yang lebih baik. Ada yang menjadi direktur, ada yang menjadi pegawai pemerintah, bahkan ada yang menjadi alim ulama di suatu pesantren. Dan ketika kutemui sosok seorang, yang tak asing dihati dan jiwaku. Dia. Pria itu. 

Dia, Pria itu.

Sosok pria yang telah kucintai lebih dari aku mengenalnya. Seorang pria yang telah menjalani lima tahun bersamanya. Dan sosok seorang pria yang telah datang melamarku delapan tahun lalu sebelum aku berangkat ke Jerman, kini Ia duduk didampingi oleh seorang wanita yang menggedong seorang balita. Dia, sudah ada yang memilikinya. Pria yang telah berjanji untuk menungguku selama aku menempuh studi di Jerman, sekarang telah menikah tanpa aku tahu kapan Ia memberitahuku detik waktunya.

Ia begitu bahagia, tertawa sambil duduk menemani keluarga kecilnya di pesta itu. Sementara aku disini, diam duduk membisu. Tak terasa, air mata ini pun jatuh mengalir, membahasi pipiku. Tak mau berhenti. Ia mengalir sesuka hatinya. Sampai pria itu menyadari keberadaanku.

Ia tertegun, terkejut melihat kehadiranku, yang sudah datang ke Indonesia. Ia pun berdiri mengajak istinya untuk menghampiriku. Dengan senyumannya yang penuh wibawa, ia menjabat tanganku
"Dinda, perkenalkan ini istriku Seli, dan ini anakku Rudi"
aku menjabat tangannya. Dan langsung teringat betapa hangatnya Ia memelukku saat itu, saat sebelum aku meninggalkan indonesia. Aku sungguh tak tahu, jika pelukan itu adalah pelukan terakhir yang kumiliki sebelum aku melanjutkan pendidikan di Jerman

Setelah menjabat tanganku itu, Ia pun pergi meninggalkanku, seperti sebelumnya tidak pernah mengenalku. Seperti diantara aku dan dia tidak pernah memiliki kisah apapun. Seperti aku dimatanya adalah bukan siapa-siapa. Bukan seseorang yang pernah mengisi hatinya. Aku bukanlah siapa-siapa.

Aku menangis. menangis kencang meninggalkan pesta itu. Aku pulang menuju rumah dan segera memeluk Ibuku.
"Ibu.... Ibu....." tangisku
"Kenapa, nak ? "
"Bu,... pria yang kucintai itu Bu. Pria yang datang melamarku dulu. Tadi datang ke dalam pesta perkawinan temanku. dan menjabat tanganku. lalu memperkenalkan istri dan anaknya kepadaku.
Aku siapa Bu, setelah lima tahun kujalani suka duka bersamanya.
Lalu hanya kutinggalkan tiga tahun untuk mendapatkan restumu, Ibu.
Ibu......"

Harapanku telah sirna sudah. aku berharap  dengan kepulanganku setelah menempuh studi itu aku dapat meraih restu Ibuku, ternyata tidak. Aku mendapatkannya lebih dari apa yang aku duga, setelah tiga tahun lamanya aku bersusah payah menimba ilmu di negeri orang, menuruti perintah Ibu. Pria itu telah pergi dan tak kan pernah kembali. Dan pria itu tak kan pernah dapat kumiliki

Puluhan Tahun Kemudian
Selama puluhan tahun lamanya, aku selalu menolak pria-pria pilihan Ibuku. Aku masih setia mencintainya. Kini rambutku sudah berwarna dua. Hitam dan putih menyatu menjadi abu-abu. Aku masih sering menerima undangan pesta pernikahan dari kerabat dan kawan-kawanku. Hingga kini, aku masih sendiri. Sendiri memendam dan mengubur rasa cinta itu dalam-dalam. Berharap Ia dapat pudar seiring berjalannya waktu. Berharap cinta yang tulus itu dapat terkikis oleh waktu.

Sungguh, waktu telah membuktikan besar cinta kita berdua. Akankah semakin bertambah rasa cinta itu, ataukah pudar seiring bertambahnya waktu.

Namun sayang, diusiaku yang sudah tak muda lagi ini, aku masih sangat mencintainya. Masih menunggunya. terbayang-bayang aku pulang dari bandara dan pria itu datang menyambutku dengan bahagia. Hanyalah angan-angan semata. Bukan karena aku kehilangan pelukan dari ragamu, tapi karna aku kehilangan cinta dan hatimu. "Entah sampai kapan, hingga senja aku masih menunggumu. Entah karna aku setia kepadamu, ataukah aku terlalu dungu. Aku akan slalu menunggumu"

Aku selalu menuruti Ibu. Hingga ujung masa senjaku. Aku masih hidup berdua bersama Ibuku. 

Entah aku harus berbuat apa, Tuhan, namun izinkan aku untuk sekali saja memilih dalam hidupku. Izinkanku agar aku dapat memiliki sebuah pilihan saja, sebuah pilihan yang berasalkan dari hati nuraniku. Bukan pilihan Ibu, atau bukan pilihan siapaun. Izinkan aku memilih, Tuhan. Aku ingin mencintainya seuumur hidupku



*Sebuah Puisi Dinda yang tersimpan puluhan tahun lamanya, untuk Pria yang dicintainya itu. dan tak ada seorang pun yang membaca.*
Kamu..
Melihatku seperti langit sore 
Begitu samar dengan bayangan
sedikit demi sedikit menghilang
Menjauhiku seperti tak pernah mengenalku
Membelakangi semua kisah indah
yang pernah dilalui bersama
Kemudian..
Kamu menyebutku.
Masa lalu

No comments: