ada banyak rasa saat coding. ada keringat dan air mata dalam mencoding. keringat saat kau berusaha menyelami makna dalam setiap ilmu coding. dan air mata disaat tiada orang yang dapat membantumu, ketika program dalam keaadaan bugging. apapun rasa dalam mencoding. cobalah untuk mengerjakan sendiri. sampai kau bisa. dan benar-benar bisa.

Saturday 29 December 2012

Sepasang Mata untuk Bunga



Sahabatku mempunyai seorang kakak. Suatu hari aku pergi ke rumahnya, berharap aq bisa bermain-main, berbincang-bincang, dan menghabiskan waktuku seharian bersamanya. Namun saat kami tiba di rumah, terlihat seorang lelaki duduk di kursi teras rumah dengan pandangan yang lurus dan kosong, seakan Ia sedang menunggu seseorang.
"Darimana dek?" tanya lelaki itu.
"Dari jalan-jalan mas sama temanku. Oh iya, kenalkan ini temanku, Bunga" sahabatku memperkenalkanku.
"Yuk, silakan duduk Bunga. Tunggu disini ya. Silakan ngobrol dengan kakakku" Ia mempersilakanku.

Aku pun duduk di kursi teras yang tepat berada di hadapan lelaku itu. Ternyata, Ia adalah kakak laki-laki dari sahabatku. Suasana menjadi sunyi saat sahabatku sedang berada di dalam untuk membuatkanku segelas minuman. Dalam kesunyian itu, aku tidak berani sama sekali untuk mengangkat wajahku dan mengajak kakaknya berbicara. Aku begitu malu. Karena, sepintas saat kulihat tadi, kakak sahabatku begitu sangat tampan. Aku malu untuk menatap wajahnya. Dan aku pun hanya bisa senyum-senyum tanpa maksud yang jelas.

Melepas kesunyian itu, Ia mulai berbicara.
"Namanya siapa dek?" lepas suaranya yang begitu sangat indah.
"Bunga Mas" Sahutku. Aku masih saja menunduk.
"Saya kakaknya Bulan. Oh, jadi kamu ya yang sering diceritakan sama kakak. Bulan sering bercerita kepadaku tentangmu. Katanya, Ia punya sahabat yang..." belum selesai Ia berbicara, Bulan pun keluar membawa minuman dan memcah pembicaraan.
"Haai, maaf ya menunggu lama. ini minumannya. Eh, kamu mau main ke kamarku? Yuk nanti aku ajak. Oh ya aku ambilkan kue dulu ya" Ia pergi berlalu

Seteguk kuminum minuman segar itu. Lalu kuberanikan diri untuk melihat wajah kakak Sahabatku. Aku terdiam. Jantungku berhenti berdetak. Denyut nadiku ingin memompa keras-keras. Gelas yang kupegang tadi, rasanya mau jatuh karna sesuatu yang sangat mengejutkan itu.

Ia sangat tampan. Tampan sekali. Saat aku memberanikan diri untuk melihatnya, tak sadar, ternyata Ia menatapku sedari tadi. Pandangan matanya yang indah, menatapku lurus dan jatuh ke pandangan mataku. Sesekali Ia berkedip, namun tetap saja Ia menatapku. Jantungku terasa dag dig dug tidak karuan. Aku memang jatuh cinta padanya, saat pandangan pertama. Ketampanan parasnya begitu sempurna hingga tak ada kata yang melukiskannya.

"Ning Nong.. Ayo masuk ke dalam, Kita ke kamarku yuk.." Sahabatku membuka pintu dan memecah keheningan.
Kami meninggalkannya sendirian di teras dan menuju ke lantai dua, tempat Bulan beristirahat. Setelah itu, kami menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang, mengobrol tentang ini dan itu.
"Beb Bulan, kok kamu tidak pernah cerita kalau kamu punya seorang kakak. Laki-laki lagi. Kamu selalu cerita tentang Bunda, Papa, dan Adikmu Bintang. Dimana kakak laki-lakimu? Namanya pun tidak pernah kau sebut" tanyaku, yang sepintas membuatnya Ia terdiam.
"Jangan" sahut Bulan.
"Jangan?"
"Iya, Jangan. Nggak usah deh" Katanya menjelaskanku dengan lembut.
"Aku tidak tahu namanya. Siapa namanya?"
"Kenapa kamu ingin tahu?" tanya bulan dengan nada yang agak sensitif
"Aku hanya ingin tahu"
"Dia...kakak laki-lakiku yang tidak pernah kuceritakan kepada siapa-siapa. Dia ada, tapi seperti tak ada. Itu karna dia begitu Istimewa. Tak pernah seorang pun mengunjunginya. Ia tak pernah memiliki seorang teman di luar. Apalagi, sampai jatuh cinta kepada seseorang ataupun bermain rasa dan emosi. Dia begitu lugu dan polos karna Ia tak pernah mengenal bagaimana dunia. Ia masih tetap bersama dirinya. Sendiri.. Sampai saat ini" jelas Bulan dengan bahasa dari hati ke hati.
"Maksudnya?" aku bingung dengan segala kalimatnya yang menurutku ambigu dan susah untuk ditebak-tebak.

Bulan mengalihkan pembicaraan kepada sesuatu yang lain agar aku tidak mengejarnya. Aku sedikit merasa kecewa saat itu, karna Ia tak menjawab pertanyaanku. Seolah-olah, Ia tidak suka jika aku mengenal kakaknya dan mengetahui namanya. Sesuatu yang aneh.

Jam menemani kami sampai larut malam. Saatnya untukku pulang ke rumah dan meninggalkan sahabatku. Esok, Ia bisa kujumpai lagi untuk membicarakan soal rencana bisnis rumah butik yang hendak kami buat di suatu perkelompokan ruko.

Kami turun menuju lantai pertama. Dan ternyata, Kakak sahabatku sedang berdiri di depan pintu, menghadap ke arah kami dengan senyuman. Tetap saja, Ia menatapku dengan pandangan yang lurus. Jauh menembus tatapanku dan jatuh ke dalam lubuk hatiku.
"Mas, Bunga pulang dulu ya, sudah malam" Kata Bulan sambil mempersilakanku.
"Iya, hati-hati ya Bunga. Besok main lagi" Ia tersenyum padaku.
Aku tidak bisa menghitung berapa kali Ia membuatku dag dig dug dengan tatapan dan suaranya yang begitu indah dan lembut. Suaranya sangat lelaki, bass, namun romantis. Sungguh aneh jika Bulan tidak mau menceritakan kakaknya kepada dunia, lalu menyembunyikannya sampai terlalu lama termakan usia.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Malam hari setelah aku pergi ke rumah Bulan, aku sering memikirkan kakaknya. Terkenang begitu dalam, bagaimana Ia menatapku. Ia tak henti-hentinya menatapku. Pandangannya lurus lalu terjatuh dalam lubuk hatiku. Rasanya, aku ingin sering-sering pergi ke rumah sahabatku. Mungkin sekaligus untuk melihatnya dari kejauhan, meski aku belum mengetahui namanya. Siapakah nama dari gerangan yang kucinta.

Hari demi hari kusempatkan waktuku untuk mengunjungi Bulan. Dan sesekali, aku mencuri waktuku untuk menyapa hai seseorang yang sekarang sedang singgah dihatiku. Hingga suatu saat, Ia menyampaikan sesuatu kepadaku, dan aku begitu terkejut.
“Bunga,” Ia memanggilku lembut dan dengan senyuman.
“Boleh suatu hari nanti, aku bisa mengajakmu untuk jalan-jalan bersama? Oh mungkin di tempat dimana Bunga suka. ” pertanyaan yang sekejap membuat aku melayang, seolah-olah aku merasa menjadi gadis yang paling cantik.
Masih dengan hal yang sama, Ia menatapku dengan pandangan yang lurus.
Aku tersenyum lalu berkata “Tentu saja boleh Mas, aku juga ingin pergi bersama, jalan-jalan. Apalagi dengan kakak”
Mendengar itu, senyumnya mengembang. Sampai-sampai, aku bisa merasakan betapa berbunga-bunga hatinya. Betapa bahagianya tatkala aku menerima ajakannya untuk pergi bersama. Aku merasa Ia juga jatuh cinta kepadaku.
Dan Ia tak henti-hentinya menatapku dengan pandangan yang lurus.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kami saling berkomunikasi lewat telepon hingga suatu hari kami saling menyepakati untuk bertemu di sebuah pantai yang indah. Ya! Aku suka pantai. Bagiku, pantai sama indahnya seperti saat aku dijendela lalu menatap hujan. Pantai sama indahnya seperti saat mendung yang senada dengan suasana hatiku. Disana kami bertemu, dan Ia menunggu di sebuah meja makan tepat di depan pemandangan pantai. Sepertinya, Ia sudah lama menungguku. Ia duduk disana dengan lagi-lagi pandangan yang lurus dan kosong.

Aku menghampirinya. Kami menghabiskan waktu dengan saling mengenal lebih dekat. Sesekali, kami tertawa menceritakan hal-hal yang lucu dariku. Seusai makan, mulailah saat-saat yang telah direncanakannya sejak Ia mengenalku.

Masih dengan hal yang sama, Ia menatapku dengan pandangan yang lurus. Ia memegang tanganku dengan lembut di atas meja itu, lalu berkata, “Bunga, maukah kau menjadi” terhenti.“Kekasihku”.
Kata ‘kekasihku’ membuat keheningan terjadi. Suara desis angin dan ombak pun mulai melengkapi. Ia terus tetap saja menatapku, dengan pandangan yang lurus, tanpa gerakan bola mata kesana kemari. Karena selama ini aku juga menyimpan rasa terhadapnya, aku menerimanya. Kembali, Ia mengembangkan senyumnya. Ia menggenggam tanganku semakin erat dan disanalah kami saling berbunga-bunga, seperti namaku.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bulan demi bulan aku lalui hari-hariku bersamanya. Hingga hari ke 742, genap hari ulang tahun kisahku dengannya. Kami sering menghabiskan waktu bersama di rumah Bulan, di teras, dan di tepi pantai dengan meja makan yang sengaja dipesan khusus olehnya atau saling menghabiskan malam lewat telepon. Hingga suatu hari kami memutuskan untuk memperikat janji kepada sebuah pernikahan. Bulan, sahabatku, sangat menyetujui jika aku menjadi kakak iparnya. Kedua keluarga kami pun juga sudah saling menyetujui. Dan saat yang Indah pun datang pada waktunya.

Ini hari pernikahanku. Aku memakai gaun yang sangat cantik, secantik wajahku. Aku yakin Ia akan sangat bangga melihatku. ‘Tok tok’ suara pintu terketuk oleh seseorang. Ia, calon suamiku, membuka pintunya lalu menghampiriku. Ia berdiri bersandar di dekat jendela itu.
“Aku cantik mas?” tanyaku. Masih dengan hal yang sama, Ia menatapku dengan pandangan yang lurus.
“Kamu.. Canntik” Ia terseyum kepadaku. Aku berpaling dan kembali untuk merapikan make up ku didepan kaca rias.

Dibalik itu, dalam kaca riasku, aku melihatnya menangis. Ia meneteskan air mata. Aku terdiam dan sejenak menghentikan riasan bibirku. Ia berdiri dengan menatapku, dengan pandangan yang lurus, namun dengan tetesan air mata yang jatuh di kedua pipinya. Aku berbalik dan bertanya, “Mas, mengapa kau menangis?”. “Oh, tidak. Aku tidak menangis sayang, tadi ada debu masuk ke kedua mataku, jadi air mataku keluar” secara terhentak Ia cepat-cepat menghapus air matanya. Rupanya Ia tidak mengerti jika sedari tadi di dalam kaca, aku melihatnya menangis. Meneteskan air mata. Aku tidak tahu apa yang Ia rasakan. Mungkin terharu, karena selama ini Ia belum pernah bertemu dengan orang, mempunyai teman, apalagi bisa menikah denganku seperti ini.

 Ia menghampiriku dan mengajakku ke ruang acara. Sambil menuju kesana, aku terus-terus bertanya, “Aku cantik mas? Apa yang kurang?”. “Tidak, kamu sempurna. Kamu cantik” jawabnya dengan lembut. “Iya? Cantik mas?” “Kamu cantik sayang”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Inilah saatnya Ia memakaikan sebuah cincin putih kepadaku. Masih dengan hal yang sama, Ia menatapku dengan pandangan yang lurus. Seharusnya saat hendak memakaikan cincin itu, Ia melihat jari-jemariku, tetapi tidak Ia lakukan.

Tangan kirinya memegang tangan kananku, lalu tangan kanannya memegang cincin yang hendak Ia pasangkan ke jariku. Ia begitu kesulitan. Sesekali, cincin itu jatuh diantara jari telunjuk dan jari tengah. Lalu terjatuh diantara jari tenga dan jari manis. Bahkan terjatuh diantara Ibu jari dan jari telunjuk. Sungguh aneh. Mengapa Ia tak melihat menuju arah jariku yang hendak Ia pasangkan, namun justru tetap melihat mataku dengan pandangan yang lurus.

Para undangan tamu pun melihat kebingungan. Dan terdengan suara, “Ohhh..Dia..” “Ohhh..si Dia..” “Ternyata..Dia...” “Pengantin laki-lakinya...” “Dia...” suara gemuruh dari para tamu undangan. Hingga muncullah sebuah tangan yang membantu memasangkan cincin itu ke jariku. Ternyata Bulan, sahabatku.

Ia gugup. Tangannya bergetar. Namun Ia tetap menatapku dengan pandangan lurus. Dari itulah, aku mengetahui sesuatu yang tak pernah Ia sampaikan kepadaku.

Ia Buta.

“Ia Buta,” begitu Bunda sahabatku menjelaskanku. Pandanganku langsung hitam pekat. Sekejap seperti malam. Dan aku terjatuh pingsan. Aku tak sadarkan diri dan aku tak ingat apa yang terjadi setelah itu.


Aku terbangun. Aku melihatnya yang sedang menungguku siuman dari pingsan. Ia duduk menatapku dengan pandangan lurus. Disanalah, kami saling beradu pendapat. Aku mempertanyakan kebohongan dan sandiwara yang telah Ia simpan selama ini.
“Mengapa tidak pernah kau jelaskan kepadaku mas, tentang keadaanmu. Mengapa kau simpan semua ini hingga sakit ku tahu. Mengapa kau tidak berusaha mengatakan yang sebenarnya, tentangmu. Mengapa?? Inikah besar rasa cintamu kepadaku mas. Tanpa harus kau tahu betapa sakitnya aku”
Ia tidak menjawab. Ia terdiam. Lalu meneteskan air mata. Ia menangis dalam kesunyian itu. Aku sungguh jengkel dengan sikapnya. Ia tidak menjawab semua pertanyaanku, namun hanya menjawabnya dengan tetesan air mata. Apa artinya butiran-butiran air mata itu. Tidak akan mampu mengembalikan kekecewaanku. Akhirnya, aku pun pergi meninggalkannya. Dan menghilang berbulan-bulan lamanya. Aku mencoba membuang nomor teleponku, berharap Ia dan Bulan tidak mencari kepergianku.

Aku begitu sangat kecewa. Ternyata Ia tak pernah benar-benar melihat wajahku. Ia tak mengenal bagaimana aku. Ia tak tahu siapa aku. Mengapa tak pernah Ia sampaikan kepadaku? Mengapa sahabat baikku, juga tak pernah menyampaikannya kepadaku?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Berbulan-bulan lamanya itu, aku pulang ke kampung halamanku untuk menepis kekecewaanku. Lelah dengan persembunyian itu, aku menceritakan semuanya kepada ayahku. Dan inilah nasehat dari ayahku yang membuka hatiku,
“Seharusnya, kau tidak pergi meninggalkannya. Nak, tidak ada manusia yang sempurna. Oleh sebab itu, berusahalah untuk menerima dan mencintainya. Kamu tahu arti mencintai sesungguhnya nak? Mencintai adalah menyayangi sesuatu yang tidak sempurna, namun dengan cinta yang sempurna”.
Mencintai adalah menyayangi sesuatu yang tidak sempurna, namun dengan cinta yang sempurna. Ini adalah nasehat yang selalu aku ingat dari ayahku.
“Temuilah dia Nak”

Aku menerima nasehat dari Ayah dan keesokan harinya, aku langsung bergegas menuju kota untuk menemuinya. Aku menyadari bahwa sikap dan langkahku saat itu adalah hal yang sangat bodoh. Memang benar Ia telah menyakitiku dengan bersandiwara tentang Butanya, namun akan lebih menyakitkan lagi ketika aku mengetahui bahwa Ia Buta lalu meninggalkannya. Aku sungguh lebih kejam darinya. Aku sungguh sangat menyesal. Maafkan aku mas.

Di kota, aku menuju ke rumah Bulan. Aku mengetuk pintu rumahnya. Dengan cepat, pintu itu terbuka. Ternyata Bulan yang membukakan pintunya.
“Bungaa?..” Ia terkejut melihat kedatanganku.
“Mas ada Bulan ?” tanyaku dengan penuh rindu dan membendung air mataku.
Bulan terdiam. “Bulan..”
“Aku tak tahu Ia kemana. Sejak kepergianmu, Ia mengurung diri di kamar, hingga suatu hari aku dan keluarga tidak menemukannya di dalam kamar. Ia pergi entah kemana. Memangnya kenapa Bung? Kamu masih marah kepadanya? Tak cukupkah kau meninggalkannya saat kau tahu bahwa Ia Buta” Bulan memarahiku.
“Baiklah,.sampaikan kepadanya Bulan. Aku ingin bertemu dengannya. Aku sangat mencintainya” aku lekas pergi meninggalkannya. Aku meniggalkan nomer telepon yang bisa Ia hubungi jika Ia sudah menemukan kakaknya.
“Hubungi aku segera”

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Beberapa hari kemudian, aku mendapat telepon dari sahabatku. Ia memberikan kabar bahwa Ia sudah menemukan kakaknya.
“Aku sudah menemukannya. Ia mau menemuimu. Katanya, tunggu Ia di pantai. Tempat pertama kali kau menerima cintanya” ia lekas menutup teleponnya. “Hallo..”.

Ini sudah malam hari. Rasanya tak mungkin jika petang hari seperti ini aku pergi ke pantai. Ah aku tidak perduli, aku sangat ingin bertemu dengannya. Akhirnya aku pergi menuju ke sebuah pantai, tempat kami bertemu dulu.

Di pantai, Ia berdiri tegak menghadap ombak malam. Dengan bintang-bintang malam yang menghias diatasnya. Punggungnya yang gagah terlihat dari belakang, seolah-olah Ia sangat siap untuk menemuiku. Aku berjalan menghampiranya, namun Ia tidak menoleh ke arah yang Ia dengar. Aku pun berdiri di hadapannya.

Diam. Sunyi. Hening.

Ia yang biasa menatapku dengan pandangan yang lurus, kini berubah. Ia tak lagi seperti itu. Ia melihatku dengan bola mata yang bisa bergerak. Ia bisa melihatku. Ia tidak buta lagi.
“Halo sayang..” Ia menyapaku dengan lembut. Aku terkejut saat seseorang yang buta dulu, kini bisa melihatku dengan jelas. Aku memeluknya dan berkata, “Maafkan aku mas karna telah meninggalkanmu”. Ia memelukku dengan erat, “Tidak apa-apa sayang, aku memahamimu. Aku tidak akan memaksamu untuk mencintaiku. Aku mencintaimu tanpa berharap suatu balasan”. Aku menangis tersedu-sedu. Aku menyesal telah melukai seorang tuna netra yang putih hatinya.

Sekarang, Ia bisa melihat. Aku tak tahu bagaimana Ia bisa mendapatkan sepasang mata. Sepasang mata yang bisa digunakan untuk melihatku dan melihat dunia. Karena, yang kutahu selama ini, Bulan hidup dalam keluarga yang sangat sederhana. Jauh dari kehidupan yang berkecukupan. Darimana Ia mendapatkan uang untuk membeli sepasang mata ini?

Aku menanyakannya kepada Bulan. Lagi-lagi, Bulan terdiam. Lalu Ia menjelaskannya kepadaku dengan lembut, seperti dulu saat Ia masih menjadi sahabatku,
 “Aku memasang beberapa informasi di media. Dan sempat kutanyakan pada Lembaga sosial yang peduli akan orang hilang. Aku sangat menghawatirkan kakakku. Apalagi, dia seorang tuna netra. Tidak lama dari itu, aku mendapatkan kabar bahwa Ia berada di rumah sakit. Aku pikir Ia tertabrak karna Ia buta dan tidak bisa melihat lalu lalang kendaraan. Ternyata Tidak!.
Ia menjual ginjalnya, untuk menukarkan dengan sepasang Mata. Mata agar bisa melihatmu. Mata agar Ia bisa melihat seseorang yang dicintainya, namun pergi meninggalkannya. Aku sudah bertanya kepada kakakku, bagaimana bila seadainya, Kau Bunga tidak pernah kembali. Ia hanya menjawab, ‘Mataku ini untuknya. Bila dia tak pernah kembali? Biarlah adikku. Ia pernah mencintaiku, dan aku pernah mengisi ruang hatinya, itu sudah lebih cukup’

--Sekian—